Gula Enau Dalam Kenangan
Gula Enau – Bergelimang dengan Arenga Indonesia, hidup dan mati memperjuangkan gula semut aren ( kalau tidak anak-anak tidak makan dan tidak sekolah dong :)), di masa lalu affair-ku bersama pemanis tradisional ini terbatas. Kalau boleh dikatakan sangat minim. Sedihnya baru menyadari saat menulis blog post ini.
Memang ingatan tidak selalu bisa diandalkan. Tahun-tahun yang telah lewat pasti banyak mencecerkan kenangan. Peristiwa-peristiwa baru yang lebih menarik tentu menimbun kisah lain yang kurang menarik. Semampu membongkar pikiran, gula enau atau gulo anau dalam bahasa Minang cuma lewat sekilas, dalam bayang-bayang pohon enau di belakang rumah.
Entah terkait pada kebiasaan orang Minang yang strichly tidak memasukan gula (pemanis apapun) ke dalam masakan. Tidak seperti di Jawa, salah satu bumbu masak adalah gula merah atau gula aren. Di Ranah Minang, jenis lauk pauk hanya berunsur pedas dan asin. Sependek ingatan tak pernah melihat ibu atau nenek mengiris gula merah lalu memasukan ke dalam masakan.
Gula Enau dan kopi Daun
Pemakaian gula aren yang disebut Gulo Anau di Minang kebanyakan berunsur rekreasi. Maksudnya hanya terdapat dalam makanan kecil atau kudapan. Makanan jenis ini beratmosfir gembira menurut saya. Karena hanya terdapat dalam kue-kue (snack tradisional) yang dinikmati pada waktu senggang.
Terus apa hubungannya dengan kopi daun?
Kopi daun? Apa pula itu?
Dalam buku Plakat Panjang karya Amran Rusli diceritakan perangai Belanda yang menarik garis tegak lurus antara orang Eropa, China dan Pribumi. Karena berharga mahal, biji kopi dianggap hanya cocok dikonsumsi orang Eropa dan Cina kaya. Primbumi terlarang menikmati buah dengan kafein ini.
Apa boleh buat, dipaksa menanam kopi tapi tidak boleh menikmati buahnya, sementara selera tetap sama, maka terbitlah akal kaum pribumi untuk memanfaatkan daun kopi.
Caranya?
Daun kopi sedang (tidak terlalu muda dan juga tidak terlalu tua) di bersihkan, di tusuk oleh sebilah lidi, lalu digantung sampai kering diatas perapian ( bahasa minangnya di sangai). Setelah beberapa hari daun kopi yang kering dan getas ini di remas menyerupai rajangan daun teh, dimasukan ke dalam tabung bambu lalu diguyur air mendidih. Teh dari daun kopi atau kopi daun ini rasanya lebih nikmat kalau ditambahkan gula aren sebagai pemanisnya (Sumber: tulisan Mamanda Dave Said di Rantaunet).
Sekarang racikan kopi daun juga mengalami revolusi. Kopi daun susu diberi gula merah cair cukup populer bila teman-teman berkunjung ke Sumatera Barat.
Yang paling memalukan dari karakter kaum pendatang (penjajah) adalah jelas-jelas merampok hasil bumi orang, cari makan diatas tanah orang, derajat sosial penduduknya perlu pula di letakan beberapa tingkat di bawah. Maka kalau Belanda sedang frustrasi menghadapi kekeras kepalaan atau mungkin juga gara-gara gak nurut, dianggap bodoh maka keluar hardikan seperti ini, ” … Godverdomme, dasar melayu kopi daun zegg ..”
Penduduk lokal menamai teh kopi ini Aia Kawa. Menurut sak wasangka, nama ini berasal mereka yang pulang dari Mekah. Di tanah Arab memang ada minuman bernama Kopi Gahwa ( Kawa) ( Sumber: westsumatera.com).
Air Kawa dan Minum Kawa
Sepertinya Air Kawa ini mengilhami orang minang untuk memberi nama serupa terhadap ritual menyantap penganan kecil. Aku ingat ketika amai-amai (ibu-ibu ) pergi ke ladang atau ke sawah dengan menjinjing teko berisi kopi, dan menjunjung beban yang berisi kudapan. Entah ketan, pisang goreng, kalamai atau penganan kecil lainnya untuk menjamu suami atau kerabat yang bekerja. Mereka menamai ritual Mengahantar Kawa (maanta kawa).
Tapi menghantar kawa tidak terbatas juga pada pengan kecil. Antaran makan siang berupa nasi plus lauk pauknya ketika orang kampung gotong royong menyabit dan merontokan padi di sawah disebut Kawa juga.
Pengalaman dengan gula enau lainnya terpaksa ditarik dari bulan Ramadhan. Karena di bulan-bulan ini lah aneka makanan manis bertebaran di mana-mana. Mulai dari kolak ubi, kolak singkong, pisang dan cendol relatif tersedia di banyak tempat.
Di luar bulan puasa, bersama kelapa parut, gula aren bersembunyi dalam kue unti. Kue unti yang kumaksud adalah klepon versi minangkabau. Terbuat dari tepung ketan, di adon dengan santan yang sudah diberi daun pandan, dibentuk bulat-bulat seperti bakso dan ke dalamnya di sisipkan kelapa parut yang sudah dimasak dengan gula aren lalu di rebus dalam air mendidih. Kalau sudah mengapung diangkat lalu diceburkan ke dalam parutan kelapa. Kue siap santap deh.
Setelah itu gula aren ditemukan dalam kinca. Kalau sedang musim nangka matang atau durian , biasa saja kuah kinca tercemar aroma buah ini. Kinca akan disiramkan keatas kue apam atau ketan.
Perbedaan Dalam Keluarga Gula Merah
Begitu lah. Sampai beranjak mendekati usia 40 tahun aku tidak “ngeh” ada perbedaan antara gula merah, gula aren dan saka ( gula merah yang terbuat dari tebu). Jangankan mengetahui bedanya, mengetahui terbuat dari apa gula aren juga tidak. Padahal di belakang rumah kami di kampung terdapat beberapa batang pohon anau/aren.
Hanya karena tampilannya yang seram, berjanggut (digayuti ijuk tebal) yang ditumbuhi aneka pakis dan anggrek liar, diabaikan, tidak begitu banyak yang bisa diceritakan selain pohon itu mungkin berhantu. Kalau tidak perlu-perlu amat tidak akan ada yang melintas di dekatnya. Kalaupun terpaksa karena harus jalan menuju Batang Agam (nama sungai) tatapan mata dibuang jauh-jauh , takut kepergok penunggunya dan disapa soalnya. Tidak satu orang Minang pun yang mau disapa makhluk gaib penghuni pohon-pohon besar sebab orang tersapa(tasapo) akan jatuh sakit.
Kontak Arenga Indonesia
Indrawanto, 0819 3241 8190
Share artikel ini
One Comment
Comments are closed.
bagus banget kemasan gula aren nya! sumpah, saya baru tau yang kayak itu. menarik sekali