Aroma Manis di Jantung Pasar Kupa

Arengaindonesia.com – Aroma Manis di Jantung Pasar Kupa.
Sabtu pagi di Pasar Kupa – Banten selalu beraroma khas. Perpaduan uap nasi yang baru matang, segarnya sayuran yang baru dipetik, dan yang paling menenangkan, aroma gula aren yang manis legit. Bongkahan-bongkahan indah dari gula batok, menghampar sepanjang kios dan los pasar.
Pasar Kupa bukanlah pasar moderen nan mewah. Ia adalah pasar sederhana dengan satu bangunan beratap seng tanpa dinding. Namun di sini denyut itu dimulai, detak jantung dari ekonomi kerakyatan di Banten setiap hari Sabtu.
Di sana, di lapak kecil beratap terpal yang selalu ramai, duduklah Pak Karto dan Mbok Tum. Usia mereka sudah lebih dari setengah abad, tetapi senyumnya selebar dagangannya yang tertata rapi. Ia menjual aneka makanan dan jajanan pasar, tetapi bintang utamanya adalah gethuk, cenil, dan klepon—semua disiram dengan kuah kental dari lelehan gula aren yang dibuat oleh Pak Karto.
Setiap Bongkahan Gula Aren Ini Adalah Cerita
Setiap bongkah gula aren di lapak Mbok Tum adalah sebuah cerita. Cerita tentang Pak Karto, suaminya, yang harus bangun sebelum subuh. Dengan caping (topi petani) usang, parang di pinggang dan lodong bambu di punggungnya, Pak Karto mendaki bukit di belakang desa. Ia bukan penambang emas, tetapi pemanen nira, cairan manis dari pohon enau, yang oleh warga lokal disebut pohon kehidupan.
Prosesnya sama sekali tidak modern. Nira disadap dengan hati-hati, kemudian dimasak berjam-jam di tungku kayu, diaduk perlahan hingga mengental, dan dicetak di sebuah kayu berbentuk congklak yang disebut konjor. Setiap tetesnya adalah keringat, ketekunan, dan warisan turun temurun. Gula aren yang dihasilkan Pak Karto dan warga lainnya bukanlah sekadar pemanis; ia adalah simbol kemandirian lokal.
Saat mentari mulai tinggi, pasar kian riuh. Pembeli datang dari berbagai kalangan—ibu-ibu yang mencari bahan baku, anak muda yang penasaran dengan rasa otentik, hingga pedagang gula aren yang akan membawanya ke kota. Mereka semua tahu, membeli di sini berarti mendukung langsung rantai ekonomi yang sederhana namun bermartabat. Uang yang berpindah dari tangan pembeli ke tangan Mbok Tum, ke tangan Pak karto dan akan digunakan untuk biaya sekolah anak-anak, lalu berputar kencang untuk kebutuhan warga sehari-hari.
Suatu hari, seorang travel blogger dari kota besar datang ke lapak Mbok Tum. Ia terkesima dengan rasa aneka makanan manis dari gula aren hasil karya Mbok Tum dan warga desa. Menurutnya kue-kue itu berbeda; lebih wangi, lebih dalam rasa manisnya.
“Gula Arennya ini yang membuat beda, Mbak,” kata Mbok Tum, menunjuk pada rangkaian gula aren cetak di kios yang ditunggui oleh Pak Karto, sang Suami. “Rasanya tidak bisa ditiru gula putih dari pabrik.” Katanya melanjutkan dengan penuh senyum.
Setuju
Travel Blogger itu tertawa, Mbok Tum tersenyum, mengacungkan jari ke bongkah gula cokelat gelap di atas meja. “Ini gula dari keringat Pak Karto, Mbak. Dibuat dengan cinta, dimasak dengan sabar. Ia tidak hanya manis di lidah, tetapi juga menghidupi satu desa. Inilah ekonomi kerakyatan kami. Ia tidak besar, tapi jujur, manis dan mengenyangkan.”
Yah tentu saja Travel Blogger itu pun mengerti. Ia sengaja datang jauh-jauh ke Pasar Kupa bukan untuk membeli jajanan pasar, melainkan ingin mendengarkan sebuah filosofi seperti yang diurakaikan Mbok Tum. Ia ingin memahami kelangsungan hidup para penyadap nira seperti Pak Karto. mengharagai passion Mbok Tum dalam menyiakan kue-kue yang dimaniskan nira aren, dan ikut mendukung martabat pasar tradisional Kupa ini yang tak saja menolak untuk mati, melainkan terus berdenyut menghidupi para pembuat gula aren di Banten.
Kini, gula aren dari desa Mbok Tum tidak hanya menghiasi lapak-lapak pedagang lain, tetapi juga diolah menjadi beragam produk, menembus pasar yang lebih luas. Namun, akarnya tetap kuat, tertanam di Pasar Kupa Banten yang setiap Sabtu selalu ramai. Di sana aroma manis gula aren selalu menjadi janji: bahwa kearifan lokal adalah kekuatan ekonomi yang tak ternilai.
Baca juga:
Share artikel ini